Rabu, 20 November 2019

DALANG, SEBUAH IMPIAN


     Malam ini adalah malam yang indah, langit bertabur bintang. Di bawah bulan yang bersinar terang tepatnya di lapangan desa warga berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit.
     Penonton merasa senang dan terhibur, tetapi tidak untuk anak yang sedang duduk di pinggir jalan samping lapangan. Anak itu menunduk, butiran air mata mulai menetes membasahi pipi kanan dan kirinya yang kini terlihat merah menyala.
     Nampaknya anak itu terlihat sedih karena dua hari yang lalu dia telah kehilangan sesosok ayah yang sangat dia cintai. Panggil saja anak itu Jono.
     Dia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Jono mempunyai dua adik yang bernana Eva dan Nia. Eva saat ini baru menginjak kelas 2 SD dan Nia baru memasuki TK. Saat itu Jono bingung, bagaimana cara dia untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi Jono masih tetap kuat dan bersemangat.
     Jono memang anak yang sabar, di saat Jono akan berdiri untuk menyaksikan Wayang, Jono dipanggil oleh seseorang.Ternyata itu adalah Pak Tono, dia terlihat sangat tergesa-gesa.
“Pak ada apa?” tanya Jono.
“Itu, ibu kamu!” jawab Pak Tono gugup.
“Kenapa , ibu saya kenapa?” tanya Jono lagi.
“Ibu kamu pingsan, Jono!” kata Pak Tono lagi.
“Ibu saya pingsan pak?”
“Iya, ayo cepat pulang!”
     Lalu Jono berlari menuju rumahnya. Jono sangat kaget dengan perkataan Pak Tono tadi, dia takut jika terjadi sesuatu dengan ibunya, di sepanjang jalan Jono hanya memikirkan ibunya. Setelah berjalan cukup jauh Jono sampai di rumahnya dan disusul oleh Pak Tono.
“Eva, Nia, ibu kenapa?” tanya Jono
“Tadi ibu pingsan, Mas!” jawab Eva
     Jono bergegas pergi ke kamar ibunya untuk melihat keadaan ibunya. Jono membelai rambut ibunya. Di kamar ibu ternyata telah ada ibu Tias. Sambil melihat keadaan ibunya tak terasa air mata tak dapat dibendung lagi .
“Sudah Jono, jangan menangis lagi!” hibur bu Tias.
“Iya, Jono, jangan menangis, ibu sudah sembuh!” kata ibu Jono.
“Iya Bu, Jono tidak akan menangis lagi !”
“Ya sudah, lebih baik kamu istirahat dulu !”suruh ibu.
“Baiklah, Bu!”
     Jono bergegas ke kamar, lalu dia merebahkan tubuhnya di ranjang kusam miliknya. Di saat dia akan memejamkan matanya dia teringat pada ibunya lagi. Jono terbangun, lalu duduk di pinggir tempat tidurnya.
     Jono sangat ingin memeriksakan keadaan ibunya ke dokter tapi bagaimana caranya? Saat Jono melihat jam ternyata waktu telah menunjukkan pukul 10.00. Jono bergegas tidur mengistirahatkan lelah.
Tak terasa hari telah pagi dan waktu telah menunjukkan pukul 05.00. Jono bergegas mandi lalu segera berangkat ke sekolah. Tetapi sebelum berangkat, Jono berpamitan kepada ibunya. “Bu, Jono berangkat ke sekolah dulu!” kata Jono sambil menyodorkan secangkir teh hangat untuk ibunya
“Iya, kamu hati hati di jalan ya!” balas ibu.
“Baik bu!”
     Jono bergegas berangkat ke sekolah bersama kedua sahabatnya Tino dan Paijo. Mereka berangkat selayaknya sahabat yang tak akan pernah terpisahkan. Setelah mereka sampai di sekolah, mereka masuk ke kelas masing masing. Mereka menyelesaikan pelajaran pada hari ini. Pada akhirnya bel pulang sekolah berbunyi dan para siswa pulang menuju rumah masing masing begitu juga dengan Jono, Tino, dan Paijo.
    Saat mereka sampai di tengah perjalanan, Pak Tono, tetangga Jono menghampiri mereka bertiga .
“Jono, Pujo, Tino!” teriak Pak Tono
“Iya, ada apa pak ”
“Ayo sini, kalian duduk sebentar saja saya traktir minum es cendol ini,” kata Pak Tono memesankan es cendol untuk mereka.
“Begini. bapak mau mengajari kalian belajar jadi dalang. Biar budaya wayang ini tidak punah. Kalian tahu kan, kalau kalian menjadi sangat piawai, bahkan beberapa dalang bisa keliling dunia dan makmur hidupnya. Bagaimana? Kalian bertiga kan anak cerdas dan sering membanggakan, jadi kalau kalian bersedia, anak-anak lain juga akan tertarik untuk ikut belajar?”
     Tino menunjukkan binar matanya. “Wah, senengnya bisa ikut mendalang, pakai blankon dan baju jawa dan menceritakan berbagai kisah pewayangan dengan nama-nama unik dan kisah-kisah menarik!” Ia berdiri dan kedua tangannya menepuk satu sama lain.
“Oh, kau tertarik untuk belajar Tino? Bagaimana dengan yang lain?”
“Mau..mau!” Jono meyakinkan.
“Kalau begitu. kita mulai Jumay sore bagaimana? Di rumah bapak!”
“Iya, Pak! Baik Pak Tono!” Pujo kali ini menyahut.
Sehabis mereka meminum es cendol traktiran Pak Tono, mereka berpamitan untuk pulang dengan perasaan yang sangat senang. Mereka tak sabar jumat depan belajar menjadi dalang. Mereka boleh menyentuh seperangkat wayang milik Pak Tono dan juga mungkin memainkan beberapa alat musik Jawa di rumah joglo besar tersebut.
Pak Tono selalu baik sama siapa saja, tetapi rasanya menyentuh semua benda benda di rumah joglo Pak Tono merupakan kesempatan emas. Tak sembarang orang diperbolehkan melakukannya.
Pada saat kebahagiaan melanda dua temannya, terlihat Jono masih menyimpan kemurungan.
“Kamu kenapa Jono, kamu masih sedih ?” tanya Pak Tono
“Saya memikirkan keadaan ibu saya!” jawab Jono
“Jono, kamu harus sabar!”
“Iya Pak, saya akan berusaha!”
Setelah sampai di rumah, Jono demikian tak sabar untuk ketemu ibunya.“Bu, maaf Jono pulang terlambat!”
“Iya. ayo masuk. Segeralah makan. Tapi maaf, ibu hanya memasak apa adanya!”
“Iya, Bu!”
Setelah makan, Jono membantu adiknya menyapu halaman. Jono melakukan tugasnya itu dengan senang hati, dan tetap bersabar, lalu Jono meminta untuk adiknya agar istirahat saja, karena Jono tidak mau adiknya kecapekan. Tetapi adik Jono menolaknya karena adik Jono; Eva dan Nia juga adik yang baik.
Sore itu, saat Jono tengah asyik menyapu, Jono tak menyangka akan kedatangan Tino. “Ada apa Tino? Tumben sore sore begini kamu ke rumahku?”
“Begini, tadi saat aku sampai di rumah Joglo, Pak Tono memberi kabar bahwa akan diadakannya lomba menjadi Dalang!“
“Wah, itu kesempatan yang bagus. Kapan dilaksanakannya?”
“Tiga bulan lagi!”
“Oh, jadi begitu? Terus, berarti kita akan latihan lebih sering?”
“Iya, betul. Dua kali seminggu. Nanti malam ini kita latihan juga!”
“Baiklah, aku siap.”
Joko bisa merasakan semangat Tino demikian besar dari gerak tubuhnya saat ia meninggalkan kebun rumahnya. Penglihatannya mengikut kepergiannya di atas sadel sepeda.
Demikian pula di relung hatinya, ia berharap dan berandai andai, mungkin ini adalah jalan Jono mencapai cita-citanya menjadi seorang dalang yang trampil dan dibutuhkan banyak orang untuk pentas.
Setelah Jono selesai menyapu karena hari juga sudah petang Jono memutuskan untuk masuk ke dalam rumah untuk segera mandi .
Ia menjelaskan pada ibu dan kedua adiknya mengenai lomba mendalang dan kebaikan hati Pak Tono yag akan melatih mereka dua kali seminggunya. Dengan sangat sabar Jono menjelaskan semua kepada adiknya mengenai kemungkinan jalan prestasi untuknya.
Untung saja adik Jono juga adik yang bisa menerima impiannya mendalami seni budaya tradisional yang sudah kian ditinggalkan orang orang muda belakangan ini. Tapi dari penjelasan Pak Tono yang kini ditirukannya dalam penjelasannya pada kedua adiknya, keduanya ikut menaruh harapan atas impian Jono. Bahkan juga dalam diri ibunya.
Di saat Jono akan menuju kamarnya Jono melihat ibunya yang sedang duduk di ruang tengah. Ibu Jono terlihat sangat sedih. Jono menghampiri ibunya.
Ibunya memulai berbicara.“Kau boleh memiliki cita-cita yang bagaimana pun tingginya, tapi sungguh ibu minta maaf tidak bisa memberi dukungan sebaik baiknya.”
“Ibu tidak usah berfikir begitu. Pak Tono tidak meminta jasa apa pun dari kami. Beliau orang kaya yang baik hati. Apalagi beliau hanya memiliki harapan mengenai lestarinya dunia pewayangan saja. Nah, jika salah satu dari kami menang, itu sudah membahagiakan beliau. Saya akan berusaha, Bu.”
Ibunya mengusap-usap pundak Jono memberi semangat. *
Pagi itu, persis pada hari Sumpah Pemuda, Sang Fajar telah bersinar menampakkan kecerahannya. Seperti biasa, keluarga Jono bergegas beraktivitas seperti biasa.Adik adiknya berangkat sekolah. Tetapi ada yang beda bahwa hari ini ibunya mengantarkannya mengikuti lomba mendalang di kabupaten.
“Jono, jangan lupa, nanti sebelum kamu main, kamu baca basmalah dahulu!”
“Baik, Bu!”
Mereka berangkat,wajah ibu masih terlihat pucat. Meski begitu ia berusaha memberikan kekuatan semangat untuk anak mbarepnya yang selalu berperangai menyenangkan.
Hampir tengah hari, nomor undian Jono membawanya melangkahkan kaki menuju panggung tempatnya berpentas. Pujo dan Tino sudah melewati gilirannya agakawal.“Bu Pujo hebat sekali ya!” celetuk Jono usai temannya itu pentas tadi.
“Iya, jika kamu mau berusaha pasti kamu akan lebih baik darinya!”
“Iya, Bu, Jono pasti akan berusaha membanggakan ibu!”
Sekarang saatnya Jono membuktikan kemampuannya. Ia mencoba memainkan sebuah bagian perang Baratayudha antara Pandhawa dan Kurawa. Di hitungan sepertiga pentas Jono memainkan pertunjukan, ibu Jono pingsan.
Bergegas Jono meninggalkan pertunjukan itu. Ia tak lagi peduli dengan sebuah iming-iming kemenangan. Beberapa orang mengantarkan keduanya ke rumah sakit dengan mobil panitia.
Untunglah, hasil pemeriksaan dokter menyebutkan bahwa Ibu Jono boleh rawat jalan sembari menunggu rujukan yang dapat digunakannya ke rumah sakit di kota. Bahkan ibunya membujuknya untuk kembali ke tempat lomba tersebut demi mengetahui dan menyemangati teman-temannya.
Tiba di sana, sudah sangat sore. Jono demikian perhatian terhadap suara dewan juri yang mengumumkan peraih juaranya. “Yang menjadi juara pertama adalah …!”
Seperti biasa, Sang Juri memberi jeda untuk memberikan efek rasa penasaran dan kejutan.“Ia bernama Pujo Satriyo!” Seketika Pujo melonjak dan Jono memeluknya erat dari belakang hingga keduanya hampir jatuh bersamaan.“Pujo, selamat ya!”
“Iya, Jono aku berhasil! Ini semua berkat Pak Tono.”
“Kau memang layak mendapatkannya, Pujo!” Tino menepuk nepuk pipi Pujo.
“Kemenangan ini aku persembahkan buat pak Tono dan buat kalian!” muka Pulo bersemu merah, hendak menangis karena kebahagiaan itu.
Entah dari mana, Pak Tono tiba tiba sudah berada dekat dengan ketiganya. Roman muka Pak Tono demikian bahagia. Ketulusan dari kerja kerasnya menghasilkan buah kemenangan.
“Pak Tono, uang itu nanti saya akan berikan separuh buat ibu Jono untuk membeli beras,” Pujo langsung saja menyatakan keinginannya.
Memang di antara ketiga sahabat tersebut, Jono lah yang hidupnya sering berkekurangan.
“Kamu memang berhati mulia, Pujo. Kalian semua memang anak-anak yang bersedia untuk belajar. Bapak membanggakan kalian.“
Jono terkejut mendengar perkataan Pujo.“Terima kasih Pujo!” Sekali lagi ia memberi pelukan pada temannya tersebut.
“Iya, sama sama!” Pada ajang perlombaan itu, ternyata bukan saja kemenangan yang berarti, tetapi sebuah nilai persahabatan dan kepedulian sesama teman